Bahan pengawet umumnya
digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini
dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau
penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen
menggunakannya pada bahan pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk
memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2008: 5).
Salah satu mikroorganisme
yang menyebabkan rusaknya mutu/kualitas bahan pangan adalah mikroba. Mikroba
membawa penyakit sehingga akan menyebabkan suatu infeksi. Teknologi pangan
membuat suatu senyawa kimia antimikroba, sehingga makanan tidak mudah rusak. Untuk
mencegah adanya mikroba dalam makanan dapat dilakukan dengan pemanasan,
pengeringan, fermentasi atau penambahan senyawa-senyawa kimia. Penambahan garam
nitrat/nitrit cenderung berbahaya. Penambahan nitrit/nitrat digunakan dalam
proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan
mikroba. Selain itu dewasa ini cukup marak penambahan formalin yang merupakan
larutan organik bersifat karsinogenik yang digunakan sebagai pengawet makanan.
Pada massa sekarang ini,
antimikroba pada makanan digunakan untuk pengawet dan mempunyai peran
signifikan dalam memproduksi suplai makanan.
Ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan terkait senyawa sebagai antimikroba:
• Mengetahui
spektrum mikroba
• Sifat
kimia dan hasil dari anti mikroba harus diketahui
• Produk
makanan harus diketahui (nilai pka, kelarutan, pH dan lain lain)
Permenkes No
722/MenKes/Per/ IX/88 telah mengatur bahan-bahan yang boleh digunakan.
Bahan-bahan tersebut bisa untuk mengawetkan, mewarnai, maupun mengemulsi,
memantapkan, dan mengentalkan. Bahan pengawet yang banyak di jual di masyarakat
dan digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan salah satunya adalah asam
benzoat, benzoat ini umumnya terdapat dalam bentuk garam natrium dan kaliumm
benzoat yang sifatnya mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan
berbagai pangan dan minuman, seperrti sari buah, minuman ringan, saus tomat,
saus sambal, selai jeli, manisan, kecap dan lain-lain (Cahyadi, 2008: 5).
Jenis pengawet benzoat
merupakan salah satu bahan-bahan yang direkomendasikan oleh Badan POM sesuai
dengan Permenkes No 722/MenKes/Per/ IX/88, untuk digunakan sebagai pengawet,
karenya jenis pengawet ini tergolong bersifat halal. Akan tetapi pengawet
benzoat ini diindikasikan menimbulkan efek negatif jika dikonsumsi oleh
individu tertentu misalnya yang alergi atau jika digunakan secara berlebihan.
Bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil toksin
(racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk. Senyawa ini dapat
mempengaruhi rasa.
Bahan makanan atau minuman
yang diberi benzoat dapat memberikan kesan aroma fenol, yaitu seperti aroma
obat cair. Asam benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman
anggur, saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak
negatif pada penderita asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium
Benzoat bisa memicu terjadinya serangan asma (Jusuf, 2009). Sehingga benzoat
cenderung bersifat sebagai pengawet yang bersifat mubah/boleh dalam batas
ambang tertentu, bahkan bisa jadi dengan penggunaan berlebih dan merugikan
tersebut benzoate bersifat haram, karena menimbulkan kemudorotan dibandingkan
manfaatnya.
Umumnya senyawa-senyawa
pengawet sintesis tergolong dalam kelompok yang bersifat mubah/boleh, karena
cenderung menyebabkan efek samping jika digunakan secara berlebih. Penggunaan
pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan
mungkin akan bersifat efektif untuk mengawetkan pangan tertentu akan tetapi
tidak untuk mengawetkan pangan yang lain, sehingga mikroba perusak yang akan
dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak penggunaan
bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya
bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin. Badan POM-MUI pun telah memfatwakan
pengawet borak dan formalin bersifat haram untuk dikonsumsi dan digunakan
sebagai pengawet dalam pangan.
Kecenderungan back to
nature mengoptimalkan bahan-bahan alam untuk digunakan sebagai pengawet makanan
alami. Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari
tanaman rempah (seperti jahe, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya)
maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan
sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia. Akan tetapi, penggunaan bahan antimikroba kimia, di
lingkungan masyarakat (produsen) lebih banyak digunakan dalam produk pangan,
mengingat hasil yang lebih baik sebagai pengawet dan biaya yang relative lebih
murah.
Sifat
Antimikroba Bahan Pengawet
Senyawa antimikroba adalah
bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat
aktivitas mikroba. Sejarah penggunaan pengawet didalam bahan pangan sendiri
bermula dari penggunaan garam, asap dan asam (proses fermentasi) untuk
mengawetkan pangan. Sejumlah bahan antimikroba kemudian dikembangkan dengan
tujuan untuk menghambat atau membunuh mikroba pembusuk (penyebab kerusakan
pangan) dan mikroba patogen (penyebab keracunan pangan) (Syamsir, 2007). Pemilihan
awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya.
Senyawa antimikroba yang diinginkan adalah yang luas, meskipun hal ini sulit
dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis
mikroba, tetapi penghambatan suatu mikroba kadang-kadang menyebabkan mikroba
lain didalam produk tersebut menjadi dominan. Oleh karena itu, senyawa
antimikroba untuk suatu produk harus besifat aktif untuk semua mikroba yang
tidak diinginkan didalam produk itu (Syamsir, 2007).
Mekanisme kerja
antimikroba secara umum menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel,
menghambat sistem genetik, menghambat kerja enzim, peningkatan nutrien esensial
(Cahyadi, 2008 : 8-9)
1.
Menghambat
Sintesis Dinding Sel Bakteri
Bahan kimia tidak perlu masuk kedalam
sel untuk menghambat pertumbuhan, reaksi yang terjadi pada dinding sel atau
membran sel dapat mengubah permeabilitas sel. Hal ini dapat mengganggu atau
menghalangi jalannya nutrien masuk kedalam sel, dan mengganggu keluarnya
zat-zat penyusun sel dan metabolit dari dalam sel. Kerusakan membran sel dapat
terjadi karena reaksi antara bahan pengawet/senyawa antimikroba dengan sisi
aktif atau larutnya senyawa lipid. Dinding sel merupakan senyawa yang kompleks,
karena itu senyawa kimia dapat bercampur dengan penyusun dinding sel sehingga
akan mempengaruhi dinding sel dengan jalan mempengaruhi penghambatan
polimerisasi penyusun dinding sel. Apabila berkembang lebih lanjut maka
akibatnya kebutuhan sel tidak dapat terpenuhi dengan baik.
2.
Menghambat
Sistem Genetik
Dalam hal ini senyawa
antimikroba/bahan kimia masuk ke dalam sel. Beberapa senyawa kimia dapat
berkombinasi atau menyerang ribosom dan menghambat sintesis protein. Jika
gen-gen dipengaruhi oleh senyawa antimikroba/bahan kimia maka sintesa enzim
yang mengontrol gen akan dihambat.
3.
Penghambatan
Enzim
Perubahan pH yang mencolok, pH naik
turun, akan menghambat kerja enzim dan mencegah perkembangbiakan
mikroorganisme.
4.
Peningkatan
Nutrien Esensial
Mikroorganisme memounyai kebutuhan nutrien yang
berbeda-beda, karena itu pengikatan nutrien tertentu akan mempengaruhi
organisme yang berbeda pula. Apabila nutrien tersebut diikat, akan lebih
sedikit berpengaruh pada organisme dibandingkan dengan organisme lain yang
memerlukan nutrien tersebut dalam jumlah banyak.
Berdasarkan sifak
toksikitas selektifnya, senyawa antimikroba digolongkan menjadi dua kelompok
yaitu antimikroba yang bersifat bakteriostatik yang bekerja dengan cara
menghambat pertumbuhan populasi bakteri tanpa mematikan, sedangkan bakteri yang
bersifat bakterisida dengan cara membunuh bakterinya (Jawetz et al., 1996:
213). Efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba didalam bahan pangan
sangat tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman), polaritas,
komposisi nutrisi didalam bahan pangan, juga tergantung pada faktor lainnya
seperti kondisi suhu dan proses pengolahan, pengemasan serta penanganan pasca
pengolahan
Antimikroba
Alami
Pengawet kimia selama ini
umum digunakan sebagai bahan tambahan untuk membatasi jumlah mikroorganisme
yang hidup didalam pangan. Bahaya negatif yang disebabkan karena penggunaan
senyawa kimia secara berlebih dalam makanan membuat konsumen sedikit kawatir
terhadap bahaya keracunan yang disebabkan penggunaan bahan kimia tersebut. Hal
ini memaksa industri pangan untuk menghindari penggunaan pengawet kimia pada
produknya,serta mencari alternatif lain yang lebih alami untuk mempertahankan
atau memperpanjang umur simpan produk. Kecenderungan back to nature mengoptimalkan
bahan-bahan alam untuk digunakan sebagai pengawet makanan alami. Bahan-bahan
alam ini secara alamia, akan lebih mudah diterima oleh tubuh.
Bahan pengawet organik
yang banyak digunakan yaitu asambenzoat, ester asam p-hidroksi benzoate, asam
salisilat dan lain sebagainya. Sedangkan bahan pemanis sintetik yang banyak
digunakan yaitu sakarin, dulsin dan siklamat.
Berikut adalah cara penetapan senywa –
senyawa tersebut di atas dan pada umumnya hanya dilakukan analisa kualitatif
saja.
Benzoat
dan salisilat
1.
Pipet
100 ml atau lebih filtrate dari persiapan sample, masukkan kedalam labu
pemisah.
2. Tambahkan HCl (1+3) sampai asam
(gunakan kertas litmus sebagai indikator). Tambahkan lagi 5 – 10 ml HCl (1+3).
3. Ekstrak dengan 75 – 100 ml eter.
Jika perlu ekstrak kembali lapisan air dengan eter lagi.
4. Cuci ekstrak eter sebanyak 3 kali,
masing – masing dengan 5 ml air. Masukkan ekstrak eter ke dalam pinggan
porselin.
5. Uapkan eter dalam penangas air.
Residu yang dihasilkan mengandung asam benzoat atau eternya, asam salisilat,
sakarin, dulsin dan atau bahan terekstrak lainnya.
6. Larutkan residu yang diperoleh
dalam air. Jika perlu panaskan sampai 80 – 85 OC selama 10 menit.
7. Larutan yang diperoleh di bagi 3
untuk pengujian selanjutnya (larutan A, B dan C).
Ø
Pengujian
asam benzoat
a.
Kedalam
larutan A ditambahkan beberapa tetes NH3 sampai larutan menjadi basa.
b.
Hilangkan
kelebihan NH3 dengan penguapan
c.
Larutkan
kembali residu dengan air panas, saring bila diperlukan
d.
Tambahkan
beberapa tetes FeCl3 netral 0.5 %. Terbentuknya endapan Ferribenzoat yang
berwarna salmon menunjukkan adanya asam benzoat.
Ø
Pengujian
asam salisilat
Kedalam
larutan B ditambahkan 1 tetes FeCl3 netral 0.5 %. Jika ada asam salisilat, maka
larutan akan berwarna ungu.
a.
Tambahkan
basa (NH3 atau NaOH) kedalam larutan C sampai menjadi alkali.
b.
Ekstrak
larutan dengan menggunakan eter dalam labu pemisah. Dari hasil ekstraksi ini
akan diperoleh dua lapisan yaitu lapisan eter (D) dan lapisan air (E)
Sumber:
http://elokkamilah.wordpress.com/kimia-farmasi-dan-medisinal-2/pengawet-makanan-sebuah-bahasan-untuk-penetapan-halalan-toyyiban/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar