Senin, 15 Oktober 2012

PENETAPAN PENGAWET


Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen menggunakannya pada bahan pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2008: 5).
Salah satu mikroorganisme yang menyebabkan rusaknya mutu/kualitas bahan pangan adalah mikroba. Mikroba membawa penyakit sehingga akan menyebabkan suatu infeksi. Teknologi pangan membuat suatu senyawa kimia antimikroba, sehingga makanan tidak mudah rusak. Untuk mencegah adanya mikroba dalam makanan dapat dilakukan dengan pemanasan, pengeringan, fermentasi atau penambahan senyawa-senyawa kimia. Penambahan garam nitrat/nitrit cenderung berbahaya. Penambahan nitrit/nitrat digunakan dalam proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikroba. Selain itu dewasa ini cukup marak penambahan formalin yang merupakan larutan organik bersifat karsinogenik yang digunakan sebagai pengawet makanan.
Pada massa sekarang ini, antimikroba pada makanan digunakan untuk pengawet dan mempunyai peran signifikan dalam memproduksi suplai makanan.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan terkait senyawa sebagai antimikroba:
•           Mengetahui spektrum mikroba
•           Sifat kimia dan hasil dari anti mikroba harus diketahui
•           Produk makanan harus diketahui (nilai pka, kelarutan, pH dan lain lain)
Permenkes No 722/MenKes/Per/ IX/88 telah mengatur bahan-bahan yang boleh digunakan. Bahan-bahan tersebut bisa untuk mengawetkan, mewarnai, maupun mengemulsi, memantapkan, dan mengentalkan. Bahan pengawet yang banyak di jual di masyarakat dan digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan salah satunya adalah asam benzoat, benzoat ini umumnya terdapat dalam bentuk garam natrium dan kaliumm benzoat yang sifatnya mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman, seperrti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai jeli, manisan, kecap dan lain-lain (Cahyadi, 2008: 5).
Jenis pengawet benzoat merupakan salah satu bahan-bahan yang direkomendasikan oleh Badan POM sesuai dengan Permenkes No 722/MenKes/Per/ IX/88, untuk digunakan sebagai pengawet, karenya jenis pengawet ini tergolong bersifat halal. Akan tetapi pengawet benzoat ini diindikasikan menimbulkan efek negatif jika dikonsumsi oleh individu tertentu misalnya yang alergi atau jika digunakan secara berlebihan. Bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk. Senyawa ini dapat mempengaruhi rasa.
Bahan makanan atau minuman yang diberi benzoat dapat memberikan kesan aroma fenol, yaitu seperti aroma obat cair. Asam benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak negatif pada penderita asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium Benzoat bisa memicu terjadinya serangan asma (Jusuf, 2009). Sehingga benzoat cenderung bersifat sebagai pengawet yang bersifat mubah/boleh dalam batas ambang tertentu, bahkan bisa jadi dengan penggunaan berlebih dan merugikan tersebut benzoate bersifat haram, karena menimbulkan kemudorotan dibandingkan manfaatnya.
Umumnya senyawa-senyawa pengawet sintesis tergolong dalam kelompok yang bersifat mubah/boleh, karena cenderung menyebabkan efek samping jika digunakan secara berlebih. Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin akan bersifat efektif untuk mengawetkan pangan tertentu akan tetapi tidak untuk mengawetkan pangan yang lain, sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin. Badan POM-MUI pun telah memfatwakan pengawet borak dan formalin bersifat haram untuk dikonsumsi dan digunakan sebagai pengawet dalam pangan.
Kecenderungan back to nature mengoptimalkan bahan-bahan alam untuk digunakan sebagai pengawet makanan alami. Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman rempah (seperti jahe, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya) maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, penggunaan bahan antimikroba kimia, di lingkungan masyarakat (produsen) lebih banyak digunakan dalam produk pangan, mengingat hasil yang lebih baik sebagai pengawet dan biaya yang relative lebih murah.
Sifat Antimikroba Bahan Pengawet
Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Sejarah penggunaan pengawet didalam bahan pangan sendiri bermula dari penggunaan garam, asap dan asam (proses fermentasi) untuk mengawetkan pangan. Sejumlah bahan antimikroba kemudian dikembangkan dengan tujuan untuk menghambat atau membunuh mikroba pembusuk (penyebab kerusakan pangan) dan mikroba patogen (penyebab keracunan pangan) (Syamsir, 2007). Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya. Senyawa antimikroba yang diinginkan adalah yang luas, meskipun hal ini sulit dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis mikroba, tetapi penghambatan suatu mikroba kadang-kadang menyebabkan mikroba lain didalam produk tersebut menjadi dominan. Oleh karena itu, senyawa antimikroba untuk suatu produk harus besifat aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan didalam produk itu (Syamsir, 2007).

Mekanisme kerja antimikroba secara umum menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel, menghambat sistem genetik, menghambat kerja enzim, peningkatan nutrien esensial (Cahyadi, 2008 : 8-9)
1.    Menghambat Sintesis Dinding Sel Bakteri
Bahan kimia tidak perlu masuk kedalam sel untuk menghambat pertumbuhan, reaksi yang terjadi pada dinding sel atau membran sel dapat mengubah permeabilitas sel. Hal ini dapat mengganggu atau menghalangi jalannya nutrien masuk kedalam sel, dan mengganggu keluarnya zat-zat penyusun sel dan metabolit dari dalam sel. Kerusakan membran sel dapat terjadi karena reaksi antara bahan pengawet/senyawa antimikroba dengan sisi aktif atau larutnya senyawa lipid. Dinding sel merupakan senyawa yang kompleks, karena itu senyawa kimia dapat bercampur dengan penyusun dinding sel sehingga akan mempengaruhi dinding sel dengan jalan mempengaruhi penghambatan polimerisasi penyusun dinding sel. Apabila berkembang lebih lanjut maka akibatnya kebutuhan sel tidak dapat terpenuhi dengan baik.
2.    Menghambat Sistem Genetik
Dalam hal ini senyawa antimikroba/bahan kimia masuk ke dalam sel. Beberapa senyawa kimia dapat berkombinasi atau menyerang ribosom dan menghambat sintesis protein. Jika gen-gen dipengaruhi oleh senyawa antimikroba/bahan kimia maka sintesa enzim yang mengontrol gen akan dihambat.
3.    Penghambatan Enzim
Perubahan pH yang mencolok, pH naik turun, akan menghambat kerja enzim dan mencegah perkembangbiakan mikroorganisme.
4.    Peningkatan Nutrien Esensial
Mikroorganisme memounyai kebutuhan nutrien yang berbeda-beda, karena itu pengikatan nutrien tertentu akan mempengaruhi organisme yang berbeda pula. Apabila nutrien tersebut diikat, akan lebih sedikit berpengaruh pada organisme dibandingkan dengan organisme lain yang memerlukan nutrien tersebut dalam jumlah banyak.

Berdasarkan sifak toksikitas selektifnya, senyawa antimikroba digolongkan menjadi dua kelompok yaitu antimikroba yang bersifat bakteriostatik yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan populasi bakteri tanpa mematikan, sedangkan bakteri yang bersifat bakterisida dengan cara membunuh bakterinya (Jawetz et al., 1996: 213). Efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba didalam bahan pangan sangat tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman), polaritas, komposisi nutrisi didalam bahan pangan, juga tergantung pada faktor lainnya seperti kondisi suhu dan proses pengolahan, pengemasan serta penanganan pasca pengolahan
Antimikroba Alami
Pengawet kimia selama ini umum digunakan sebagai bahan tambahan untuk membatasi jumlah mikroorganisme yang hidup didalam pangan. Bahaya negatif yang disebabkan karena penggunaan senyawa kimia secara berlebih dalam makanan membuat konsumen sedikit kawatir terhadap bahaya keracunan yang disebabkan penggunaan bahan kimia tersebut. Hal ini memaksa industri pangan untuk menghindari penggunaan pengawet kimia pada produknya,serta mencari alternatif lain yang lebih alami untuk mempertahankan atau memperpanjang umur simpan produk. Kecenderungan back to nature mengoptimalkan bahan-bahan alam untuk digunakan sebagai pengawet makanan alami. Bahan-bahan alam ini secara alamia, akan lebih mudah diterima oleh tubuh.
Bahan pengawet organik yang banyak digunakan yaitu asambenzoat, ester asam p-hidroksi benzoate, asam salisilat dan lain sebagainya. Sedangkan bahan pemanis sintetik yang banyak digunakan yaitu sakarin, dulsin dan siklamat.
Berikut adalah cara penetapan senywa – senyawa tersebut di atas dan pada umumnya hanya dilakukan analisa kualitatif saja.
Benzoat dan salisilat
1.    Pipet 100 ml atau lebih filtrate dari persiapan sample, masukkan kedalam labu pemisah.
2. Tambahkan HCl (1+3) sampai asam (gunakan kertas litmus sebagai indikator). Tambahkan lagi 5 – 10 ml HCl (1+3).
3. Ekstrak dengan 75 – 100 ml eter. Jika perlu ekstrak kembali lapisan air dengan eter lagi.
4. Cuci ekstrak eter sebanyak 3 kali, masing – masing dengan 5 ml air. Masukkan ekstrak eter ke dalam pinggan porselin.
5. Uapkan eter dalam penangas air. Residu yang dihasilkan mengandung asam benzoat atau eternya, asam salisilat, sakarin, dulsin dan atau bahan terekstrak lainnya.
6. Larutkan residu yang diperoleh dalam air. Jika perlu panaskan sampai 80 – 85 OC selama 10 menit.
7. Larutan yang diperoleh di bagi 3 untuk pengujian selanjutnya (larutan A, B dan C).
Ø  Pengujian asam benzoat
a.    Kedalam larutan A ditambahkan beberapa tetes NH3 sampai larutan menjadi basa.
b.    Hilangkan kelebihan NH3 dengan penguapan
c.    Larutkan kembali residu dengan air panas, saring bila diperlukan
d.    Tambahkan beberapa tetes FeCl3 netral 0.5 %. Terbentuknya endapan Ferribenzoat yang berwarna salmon menunjukkan adanya asam benzoat.

Ø  Pengujian asam salisilat
Kedalam larutan B ditambahkan 1 tetes FeCl3 netral 0.5 %. Jika ada asam salisilat, maka larutan akan berwarna ungu.
a.    Tambahkan basa (NH3 atau NaOH) kedalam larutan C sampai menjadi alkali.
b.    Ekstrak larutan dengan menggunakan eter dalam labu pemisah. Dari hasil ekstraksi ini akan diperoleh dua lapisan yaitu lapisan eter (D) dan lapisan air (E)
Sumber:
http://elokkamilah.wordpress.com/kimia-farmasi-dan-medisinal-2/pengawet-makanan-sebuah-bahasan-untuk-penetapan-halalan-toyyiban/ 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar